Langsung ke konten utama

PEREMPUAN KALIMANTAN MELAWAN KETIDAKADILAN

PEREMPUAN KALIMANTAN MELAWAN KETIDAKADILAN
Kongres perempuan pertama sebagai tonggak baru gerakan perempuan Kalimantan

Oleh Edi v.Petebang

Tahun ini, tepatnya tanggal 26-28 Februari, sejarah telah ditulis di Pontianak, Kalimantan Barat. Selama tiga hari tersebut, untuk pertama kalinya sebanyak 250 orang perempuan dari Kalimantan Barat, Timur dan Tengah (Kalsel batal hadir), berkumpul bersama saling berbagai pengalaman, saling meneguhkan dan membuat komitmen baru untuk menegakkan hak-hak perempuan dalam sebuah pagelaran yang diberi tajuk “Kongres Perempuan Kalimantan”. Inilah tonggak sejarah, babak baru gerakan perempuan Kalimantan melawan ketidakadilan jender, diskriminasi dan pelanggaran atas hak-hak perempuan.

Kongres ini dilatarbelakangi strategisnya peran perempuan sebagai pencipta dan pemelihara perdamaian di satu sisi; namun di sisi lain, perempuana tidak dilibatkan dalam berbagai keputusan publik, baik di level formal maupun informal. Padahal dalam banyak kasus perempuan lah yang paling banyak menjadi korban dari keputusan-keputusan itu. “Banyak keputusan di kampung, misalnya keputusan menerima atau menolak masuknya suatu perusahaan, yang diputuskan kaum lelaki tanpa melibatkan perempuan. Padahal kaum perempuan lah umumnya yang menjadi korban,”jelas Noberta Yati, ketua Panitia Pengarah sekaligus penggagas kongres bersama Tekla Tirah Liyah, Julia, Sumi dan Laili Khairnur.

Kongres ini sudah direncanakan sejak tahun 2007, yakni sebagai salah satu rekomendasi Konsultasi Regional Kalimantan (KRK) untuk perdamaian dan rekonsiliasi di Pontianak. KRK merupakan forum sharing pengalaman, saling meneguhkan dan sinergi aktivitas perdamaian di Kalimantan. Organiser KRK adalah Aliansi untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ANPRI) yang terdiri dari Dayakologi, MiSEM, Segerak, Gemawan, BKCUK dan PEK-Pancur Kasih.

Rangkaian kongres berisi seminar, diskusi-diskusi, selingan pertunjukkan seni, aksi damai di Bundaran Untan, deklarasi perempuan Kalimantan serta pembentukan Aliansi Perempuan Kalimantan untuk Perdamaian dan Keadilan. Seminar menampilkan narasumber Sridanti (Deputi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan); Dinas Pemberdayaan Perempuan Kalbar, Julia Kam dan Katarina Lis (aktivis Perempuan Kalbar), Tekla Tirah Liyah (aktivis perempuan Kaltim) serta dari aktivis perempuan Kalteng.

Dalam seminar bertema “Memperkuat gerakana perempuan untuk membanguna perdamaian dan keadilan jender di Kalimantan” tersebut didiskusikan sejumlah masalah krusial yang dihadapi perempuan Kalimantan. Antara lain, budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat (mengutamakan lelaki), sistem ekonomi yang berorientasi kepada keuntungan semata dan menyingkirkan peran perempuan; sistem politik yang berorientasi pada kekuasaan; perempuan kehilangan akses akan sumber daya alam; perdagangan perempuan; kekerasan dalam rumah tangga; buta huruf tinggi; HIV/Aids, angka kematian yang tinggi; partisipasi perempuan masih rendah; beban ganda dan kebijakan yang tidak pro-perempuan.

Kongres menyepakati visi perdamaian perempuan Kalimantan. Yakni “perempuan berani bersuara, maju bersatu bersama dalam jaringan untuk perdamaian dan keadilan.

Misi perempuan Kalimantan ada empat. Pertama, secara bersama-sama membangun dan memperkuat jaringan gerakan perempuan. Kedua, meningkatkan kualitas hidup kaum perempuan melalui pendidikan. Ketiga, memperjuangkan terjadinya keadilan terhadap akses-akses secara adil bagi perempuan. Keempat, menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak.

Seluruh peserta kongres menyepakati pembentukan Aliansi Perempuan Kalimantan (APK) untuk perdamaian dan keadilan. Semua perempuan bisa menjadi anggota APK. Dewan presidium APK ini berjumlah 17 orang. Yakni Lusiana Kavoong (Kaltim); Mastowati dan Eliana (Kalteng); Susana Suryati, Harmini, Paina, Yustina Indan, Tri Yuliani, Erni, Julia Kam, Noberta Yati, Yunita, Laili Khairnur, Sumi Rae, Tekla Tirah Liyah, Reni dan Naomi.

Ketua Dewan Presidium adalah Norberta Yati; wakil ketua Laili Khairnur; bendahara Reni; sekretaris: Sumi. Koordinator Kalbar I: Painah (Pontianak, Singkawang, KKR, KKU, Ketapang, Sambas). Kalbar II: Yustina Indan (Bengkayang, Landak, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu, Melawi); Kalteng: Mastowati; Kaltim: Tekla Tirah Liyah.

Kongres ditutup dengan deklarasi perempuan Kalimantan. Deklarasi ini berisi kondisi ideal yang dicita-citakan masyarakat serta tekad mereka sebagai berikut.

Perempuan Kalimantan mencita-citakan seluruh komponen yang ada baik pemerintah pusat maupun daerah serta masyarakat sipil bahu membahu membangun Kalimantan yang adil bagi perempuan dan bagi seluruh golongan masyarakat yang ada.

Perempuan Kalimantan menginginkan Kalimantan dikelola oleh pemerintah lokal yang bervisi jelas untuk keadilan rakyat dan perempuan serta pemimpin yang adil dan bijaksana tanpa memandang latar belakang suku dan agama.

Perempuan Kalimantan memimpikan masyarakat berdaulat atas pengelolaan sumber daya alam dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Kekerasan terhadap perempuan dapat dihilangkan dari bumi Kalimantan. Pemberdayaan ekonomi berbasis kerakyatan dan perempuan dapat berkembang dengan baik sehingga tercapai kesejahteraan. Kami juga mendambakan hubungan antar golongan etnis dan agama yang saling mendukung dan menghargai serta menjadikan perbedaan sebagai kekuatan dan sumber solidaritas.

Untuk mewujudkan kondisi tersebut, Perempuan Kalimantan bersepakat untuk hal-hal berikut.
1. Mengkonsolidasikan diri dalam sebuah wadah yang bisa mensinergikan seluruh kekuatan perempuan di Kalimantan untuk perdamaian dan keadilan.
2. Melakukan advokasi untuk menciptakan keadilan jender dan hubungan antar golongan yang saling mendukung, menghargai dan menjadikan perbedaan sebagai sumber kekuatan dan solidaritas.
3. Menuntut tanggungjawab pemerintah pusat maupun daerah untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan publik serta anggarannya yang menjamin keadilan bagi perempuan dan rakyat miskin serta kebijakan-kebijakan publik yang memperkuat proses penciptaan perdamaian dan pencegahan konflik di Kalimantan.
4. Pemerintah pusat maupun daerah secara khusus harus membuat kebijakan dan anggaran bagi pelayanan publik yang gratis dan berkualitas untuk pendidikan perempuan dan kesehatan reproduksi perempuan.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus memastikan terjaminnya kedaulatan rakyat atas pengelolaan sumber daya alam dan sumber-sumber kehidupan penting lainnya.
6. Pemerintah pusat dan daerah harus memastikan sumber dana yang digunakan untuk pembangunan di Kalimantan tidak bersumber dari hutang luar negeri yang akan semakin memiskinkan dan menyengsarakan rakyat dan perempuan.
7. Membangun kapasitas dan kemampuan perempuan Kalimantan untuk memantau dan mengevaluasi program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
8. Pemerintah dan masyarakat sipil harus menghapuskan praktek-praktek politik yang menggunakan upaya politisasi isu-isu etnis dan agama yang berpotensi untuk menimbulkan konflik.

Kongres ini merupakan langkah awal yang sangat baik untuk perbaikan kualitas perempuan itu sendiri serta memaksimalkan peran perempuan untuk menciptakan, memelihara dan mengisi damai di Kalimantan. Tentu saja tidak cukup hanya sampai kongres. Harus ada aksi nyata dari seluruh perempuan di Kalimantan, khususnya mereka yang ikut kongres ini. Ditunggu!n

*Dimuat di Majalah KR edisi 164, Aprl 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bara Tarakan Membakar Kedamaian Kalimantan

Siapa sangka Kota Tarakan, Kalimantan Timur yang selama ini aman dan damai ternyata menyimpan bara yang panas. Bara itu membesar dipantik pemalakan sekelompok pemuda. Lima nyawa melayang. Bagaimana, mengapa sesungguhnya konflik itu? Siapakah suku Tidung dan Bugis Letta? Tidak pernah ada yang menyangka hari Senin 27 September 2010 menjadi hari yang paling kelam dalam sejarah masyarakat kota Tarakan. Daerah dengan motto B ersih , A man , I ndah , S ehat dan sejahtera (BAIS) itu tiba-tiba tegang, mencekam seperti kota mati. Puluhan ribu orang mengungsi. Padahal hari Minggu sebelumnya dari pagi sampai dinihari aktivitas warga berjalan normal. Umat Kristiani menjalankan ibadah hari minggu di gereja, umat lainnya ada yang beraktivitas santai, banyak juga yang bekerja seperti biasa. Namun keadaan tiba-tiba berubah menjadi tegang dan mencekam mulai diniharinya. Ketegangan bermula ketika pada Minggu sekitar pukul 22.30 WIT terjadi perkelahian tidak sei

Hasan Karman dan Prahara Singkawang

Akibat makalahnya, Walikota Singkawang Hasan Karman bak duduk di kursi pesakitan. Mengapa tulisan yang dipresentasikan dua tahun silam itu bisa memantik amarah masyarakat Melayu? Benarkah peristiwa ini kental nuansa politisnya? Tidak seperti biasanya, Hasan Karman yang biasanya ceria, mudah senyum dan welcome dengan para wartawan, selama hampir dua minggu sejak 28 Mei 2010 mendadak berubah total. Walikota Singkawang pertama dari warga Tionghoa ini serba salah. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Ia benar-benar tedudok (terdiam-red) bak seorang pesakitan di tengah gencarnya protes, kritikan terhadap dirinya sebagai walikota Singkawang. Baik lisan, tulisan maupun aksi-aksi anarkis; dari demonstrasi hingga terror pembakaran di sejumlah tempat di kota Singkawang. Singkawang pun sempat mencekam beberapa hari. Toko-toko tutup, orang merasa was-was; bayangan konflik kekerasan masa silam menghantui warga. Konflik bermula pada hari Jumat, 28 Mei 2010. Setelah shalat Jumat, Mess Daerah K

Resonansi Pontianak-Tumbang Titi (Ketapang)

Minggu lalu (kamis 5 Juli 2012) saya menumpang sebuah mobil biro jasa travel jurusan Pontianak-Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Saya memesan kursi paling depan alias dekat sopir. Pukul 09.00 pagi mobil pun datang. Ternyata belum ada penumpang di dalamnya. “Karena Bapak mau duduk paling depan maka pertama dijemput. Kita akan jemput beberapa penumpang lain lagi. Mohon sabar,Pak,”pinta sang sopir. Fery KMP Saluang, Tayan-Piasak Benar saja, saya harus benar-benar sabar. Dari pukul sembilan, ternyata mobil tersebut menjemput penumpang ke Tanjung Hulu, lalu ke Sungai Raya Dalam, ke Jalan Setiabudi-Gajahmada dan terakhir Jalan Merdeka. Dari jalan Merdeka barulah kami berangkat. Pas masuk jembatan Kapuas Dua jarum jam saya menunjukkan pukul 11.00 wib. Ternyata untuk mendapatkan kursi duduk dekat sopir, saya harus membayarnya cukup mahal, yakni dibawa berputar keliling kota Pontianak selama dua jam. Belum berjalan sesungguhnya, kepala sudah pusing.  Apa yang saya alami rupany