Gereja Pro-aktif Selamatkan Kalimantan
Ditunggu aksi nyata Keuskupan Sanggau, Sintang dan Lainnya.
Oleh: Edi v. Petebang (Majalah Kalimantan Review No.163, Maret 2009)
Tahun-tahun ini, hari-hari ini, Pastor Yeri benar-benar gundah dan marah; marah dengan semakin hancurnya alam Kalimantan dan maraknya penjualan tanah dengan harga yang sangat murah kepada para calo dan orang-orang perusahaan. “Saya sulit berkata-kata lagi menyaksikan jalan kehancuran masyarakat dan bumi Kalimantan,”ujar Pastor Yeri dalam salah satu diskusi di Pontianak. Pastor Yeremias OFM Cap., nama lengkapnya, merupakan salah satu imam, rohaniwan Katolik yang sangat prihatin dan berbuat nyata untuk penyelamatan bumi Kalimantan dari bencana ekologis dan kehancuran. Akhir-akhir ini ia sangat sedih karena cukup banyak umat di wilayahnya yang menjual tanah dengan harga sangat murah. Padahal menurutnya, jika masyarakat di kampung tidak ada tanah lagi, maka kemiskinan yang benar-benar miskin tinggal tunggu waktunya lagi.
Mengapa Gereja Katolik terpanggil untuk melakukan tindakan nyata mencegah kehancuran ekologi di Kalimantan? Menurut Pastor Yeri, Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Pontianak dan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP), ini merupakan panggilan gereja untuk berbuat nyata di dunia. “Alam diciptakan Allah baik adanya untuk kesejahteraan umat manusia. Yesus dating untuk membawa kehidupan dalam segala kelimpahan. Dan umat manusia dipanggil untuk berbuat yang sama; bukan untuk menghancurkan alam. Kehancuran alam Kalimantan sama juag dengan kehancuran Gereja Katolik. Karena itu, penyelamatan bumi Kalimantan merupakan tanggung jawab moral gereja,”jelas Yeri kepada KR.
Menurut Yeri, misionaris asal Belanda yang sudah 30-an tahun berkarya di Kalbar dan sudah menjadi WNI ini, Kalimantan adalah rumah bersama. Ini berarti bersama dengan semua penghuni Kalimantan, kita menuju masa depan yang lebih baik dan terus berusaha menyelamatkan Kalimantan dengan segala keanekaragaman hidup, demi sesama, demi alam, demi diri sendiri dan demi masa depan anak cucu.
Banyak upaya konkrit yang dilakukan Gereja Katolik di Kalimantan, khususnya di Keuskupan Agung Pontianak. Awal tahun ini PSE menginisiasi pertemuan para individu dan lembaga dan membentuk semacam tim task force (reaksi cepat). Tim ini terdiri dari individu dan lembaga yang konsen dalam berbagai bidang, seperti lingkungan hidup, budaya, ekonomi, dan hukum.
Tim inilah yang diterjunkan untuk melakukan penyadaran, penyuluhan, loby ke masyarakat dan berbagai pihak terkait untuk penyelamatan Kalimantan. “Dalam banyak kasus masuknya perusahaan, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang berimbang; hanya yang baik saja dan hanya janji-janji. Azas free, prior and informed consent tidak disampaikan perusahaan. Kita menyampaikan sisi positif dan sisi negatifnya. Masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih,”urai Kristianus Jumpat, ketua eksekutif PSE KAP kepada KR.
Tim ini datang ke kampung baik diminta masyarakat maupun tidak. Dalam pertemuan kampung, misalnya seperti di kampung Nyawan Kecamatan Menjalin Kab.Landak, masyarakat pertama-tama mengungkapkan persoalan utama mereka, yakni ancaman masuknya perkebunan sawit dan tambang. Tim memaparkan apa dampak positif negatif sawit dan tambang; apa hak dan kewajiban masyarakat, apa yang terjadi jika alam dihancurkan, bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap alam. Bagian terakhir adalah apa yang dibutuhkan masyarakat untuk mengatasi masalah itu. Misalnya, kalau masyarakat butuh lembaga keuangan, maka credit union yang akan menindaklanjuti. Kalau butuh pelatihan pertanian, PSE memfasilitasinya.
PSE KAP tidak sekedar mengkampanyekan anti pengrusakan bumi Kalimantan, tetapi memberikan alternative mengatasi masalah. PSE mempunyai Balai Pendidikan dan Pelatihan di Nyarumkop. Di sini para petani dari berbagai kampung di wilayah Keuskupan Agung Pontianak dapat belajar teori 30 persen dan 70 persen praktek secara gratis. Peserta diajari cara membuat pupuk organik, membuat bibit tanaman, cara beternak babi/sapi/ayam/itik/ikan dan manajemen keuangan keluarga. Balai ini sudah berjalan selama empat tahun dan menghasilkan ratusan alumni. “Kini sangat marak penjualan tanah kepada perusahaan dengan harga sangat murah. Upaya ini kami lakukan agar masyarakat tidak menjual tanahnya dan kreatif mengelolanya. Di sinilah letak penyelamatan lingkungannya,”jelas Kristianus.
Selain melakukan pertemuan, memberikan pelatihan, PSE juga gencar melakukan kampanye anti penghancuran bumi Kalimantan melalui media, seperti poster, leaflet, pamphlet, stiker. Sejak tahun 2008 selama sebulan masa Aksi Puasa Pembangunan (APP) dikhususkan dengan tema penyelamatan bumi Kalimantan. “Renungan, aksi selama bulan puasa ditujukan untuk memberikan penyadaran agar bumi Kalimantan jangan dihancurkan. Gerakan penyelamatan ekologi Kalimantan ini menjadi gerakan bersama para uskup se-Kalimantan,”jelas Pastor Yeri. Gerakan itu diwujudkan dengan kesamaan tema APP 2009 bagi seluruh keuskupan di Kalimantan, yakni “membangun kembali Kalimantan sebagai ciptaan Allah dalam keanekaragaman hidup”.
Sikap pro-aktif gereja Katolik dalam isu lingkungan ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan. “Gereja dengan sejarah dan jaringannya mempunyai kekuatan yang jauh lebih hebat dari LSM. Kami LSM sudah maksimal berbuat untuk penyelamatan lingkungan ini. Dengan kerja sama dan sikap pro-aktif gereja ini maka kehancuran alam Kalimantan semakin diperlambat,”ujar Sabhan Setiawan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Barat, salah satu anggota task force dalam diskusi awal pembentukan tim ini.
PSE Ketapang
Selain PSE KAP, keuskupan lain yang pro-aktif juga adalah Keuskupan Ketapang. Bulan Juli 2008, PSE Ketapang bersama sejumlah LSM dan organisasi masyarakat, mengorganisir penyampaian aspirasi penyelamatan lingkungan dalam rangka hari bumi. Demonstrasi yang diikuti 500 orang dari perwakilan paroki, desa di wilayah keuskupan ketapang tersebut bertujuan menghambat penghancuran hutan akibat masuknya perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang merajalela di Kabupaten Ketapang.
Tentu saja penyampaian aspirasi itu hanya satu dari banyak kegiatan PSE Ketapang lainnya. Aktivitas lain seperti kampanye penyadaran melalui APP, fasilitasi masyarakat penanaman ribuan hektar bekas kebakaran hutan dengan karet dan tanaman produktif lainnya.
Untuk lebih menggugah berbagai pihak, PSE Ketapang mengadakan seminar “dampak kelapa sawit terhadap masa depan lingkungan hidup di Kalimantan Barat” di Ketapang (7/2). Seminar ini diikuti 80 orang utusan PSE dari Keuskupan Agung Pontianak, Sintang, Sanggau dan Ketapang; para pejabat pemerintah, aktivis LSM, masyarakat umumnya.
Upaya proaktif Keuskupan Ketapang dan KAP hendaknya juga diikuti Keuskupan Sanggau, Sintang dan Keuskupan Lain di Kalimantan; agar APP 2009 benar-benar membumi dan menyelamatkan bumi Kalimantan.
Kehancuran bumi Kalimantan tinggal menunggu waktunya saja. Ini terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah yang menjadikan perkebunan sawit sebagai komoditi andalan. Padahal untuk membuka kebun sawit, semua tanaman harus dimusnahkan; termasuk hewan, tempat-tempat suci masyarakat. Di Indonesia sudah dibangun 6 juta hektar dan direncanakan 10 juta hektar sampai tahun 2010. Di Kalbar pemerintah mencadangkan 4,145 juta hektar. Kini (2009) sudah beroperasi 70 perusahaan perkebunan sawit dengan luas lahan 500.000 hektar. Harapan pemerintah dan pengusaha adalah mendapatkan devisa, menciptakan lapangan kerja, dan mensejahterakan masyarakat. Namun kenyataannya tidaklah seperti itu. Dalam banyak kasus, masyarakat di sekitar perusahaan sawit, khususnya masyarakat adat, justru bertambah miskin karena tanahnya dirampas perusahaan, pendapatan menurun, dan budaya mereka hancur.
Sejumlah penelitian dan fakta menyimpulkan bahwa perkebunan sawit adalah sumber bencana bagi sumber daya alam dan masyarakat adat di seluruh dunia. Menurut studi yang dilakukan Walhi, Sawit Watch dan Life Mosaic, terjadi pelanggaran hak asasi manusia akibat masuknya perkebunan sawit. Konflik sering terjadi antara perusahaan dengan karyawan; perusahaan versus masyarakat adat sekitarnya. Pemerintah pun—yang mengeluarkan izin—ternyata tidak bisa bertanggung jawab ketika ada persoalan sawit.Misalnya, Bupati Ketapang, Morkes Effendi, tidak bisa konflik antara PT Benua Indah dengan petaninya; sampai-sampai harus mengadu ke DPRD Provinsi dan Gubernur.
Banyak pihak berharap agar ada moratorium terhadap perkebunan sawit sambil mengkaji ulang. Jika mudaratnya lebih banyak dari manfaatnya, mengapa harus dipaksakan? Mengapa memaksakan sawit? Mengapa tidak memfasilitasi habis-habisan pengembangan karet rakyat, coklat, kopi, rotan atau produk lainnya?***
Ditunggu aksi nyata Keuskupan Sanggau, Sintang dan Lainnya.
Oleh: Edi v. Petebang (Majalah Kalimantan Review No.163, Maret 2009)
Tahun-tahun ini, hari-hari ini, Pastor Yeri benar-benar gundah dan marah; marah dengan semakin hancurnya alam Kalimantan dan maraknya penjualan tanah dengan harga yang sangat murah kepada para calo dan orang-orang perusahaan. “Saya sulit berkata-kata lagi menyaksikan jalan kehancuran masyarakat dan bumi Kalimantan,”ujar Pastor Yeri dalam salah satu diskusi di Pontianak. Pastor Yeremias OFM Cap., nama lengkapnya, merupakan salah satu imam, rohaniwan Katolik yang sangat prihatin dan berbuat nyata untuk penyelamatan bumi Kalimantan dari bencana ekologis dan kehancuran. Akhir-akhir ini ia sangat sedih karena cukup banyak umat di wilayahnya yang menjual tanah dengan harga sangat murah. Padahal menurutnya, jika masyarakat di kampung tidak ada tanah lagi, maka kemiskinan yang benar-benar miskin tinggal tunggu waktunya lagi.
Mengapa Gereja Katolik terpanggil untuk melakukan tindakan nyata mencegah kehancuran ekologi di Kalimantan? Menurut Pastor Yeri, Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Pontianak dan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP), ini merupakan panggilan gereja untuk berbuat nyata di dunia. “Alam diciptakan Allah baik adanya untuk kesejahteraan umat manusia. Yesus dating untuk membawa kehidupan dalam segala kelimpahan. Dan umat manusia dipanggil untuk berbuat yang sama; bukan untuk menghancurkan alam. Kehancuran alam Kalimantan sama juag dengan kehancuran Gereja Katolik. Karena itu, penyelamatan bumi Kalimantan merupakan tanggung jawab moral gereja,”jelas Yeri kepada KR.
Menurut Yeri, misionaris asal Belanda yang sudah 30-an tahun berkarya di Kalbar dan sudah menjadi WNI ini, Kalimantan adalah rumah bersama. Ini berarti bersama dengan semua penghuni Kalimantan, kita menuju masa depan yang lebih baik dan terus berusaha menyelamatkan Kalimantan dengan segala keanekaragaman hidup, demi sesama, demi alam, demi diri sendiri dan demi masa depan anak cucu.
Banyak upaya konkrit yang dilakukan Gereja Katolik di Kalimantan, khususnya di Keuskupan Agung Pontianak. Awal tahun ini PSE menginisiasi pertemuan para individu dan lembaga dan membentuk semacam tim task force (reaksi cepat). Tim ini terdiri dari individu dan lembaga yang konsen dalam berbagai bidang, seperti lingkungan hidup, budaya, ekonomi, dan hukum.
Tim inilah yang diterjunkan untuk melakukan penyadaran, penyuluhan, loby ke masyarakat dan berbagai pihak terkait untuk penyelamatan Kalimantan. “Dalam banyak kasus masuknya perusahaan, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang berimbang; hanya yang baik saja dan hanya janji-janji. Azas free, prior and informed consent tidak disampaikan perusahaan. Kita menyampaikan sisi positif dan sisi negatifnya. Masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih,”urai Kristianus Jumpat, ketua eksekutif PSE KAP kepada KR.
Tim ini datang ke kampung baik diminta masyarakat maupun tidak. Dalam pertemuan kampung, misalnya seperti di kampung Nyawan Kecamatan Menjalin Kab.Landak, masyarakat pertama-tama mengungkapkan persoalan utama mereka, yakni ancaman masuknya perkebunan sawit dan tambang. Tim memaparkan apa dampak positif negatif sawit dan tambang; apa hak dan kewajiban masyarakat, apa yang terjadi jika alam dihancurkan, bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap alam. Bagian terakhir adalah apa yang dibutuhkan masyarakat untuk mengatasi masalah itu. Misalnya, kalau masyarakat butuh lembaga keuangan, maka credit union yang akan menindaklanjuti. Kalau butuh pelatihan pertanian, PSE memfasilitasinya.
PSE KAP tidak sekedar mengkampanyekan anti pengrusakan bumi Kalimantan, tetapi memberikan alternative mengatasi masalah. PSE mempunyai Balai Pendidikan dan Pelatihan di Nyarumkop. Di sini para petani dari berbagai kampung di wilayah Keuskupan Agung Pontianak dapat belajar teori 30 persen dan 70 persen praktek secara gratis. Peserta diajari cara membuat pupuk organik, membuat bibit tanaman, cara beternak babi/sapi/ayam/itik/ikan dan manajemen keuangan keluarga. Balai ini sudah berjalan selama empat tahun dan menghasilkan ratusan alumni. “Kini sangat marak penjualan tanah kepada perusahaan dengan harga sangat murah. Upaya ini kami lakukan agar masyarakat tidak menjual tanahnya dan kreatif mengelolanya. Di sinilah letak penyelamatan lingkungannya,”jelas Kristianus.
Selain melakukan pertemuan, memberikan pelatihan, PSE juga gencar melakukan kampanye anti penghancuran bumi Kalimantan melalui media, seperti poster, leaflet, pamphlet, stiker. Sejak tahun 2008 selama sebulan masa Aksi Puasa Pembangunan (APP) dikhususkan dengan tema penyelamatan bumi Kalimantan. “Renungan, aksi selama bulan puasa ditujukan untuk memberikan penyadaran agar bumi Kalimantan jangan dihancurkan. Gerakan penyelamatan ekologi Kalimantan ini menjadi gerakan bersama para uskup se-Kalimantan,”jelas Pastor Yeri. Gerakan itu diwujudkan dengan kesamaan tema APP 2009 bagi seluruh keuskupan di Kalimantan, yakni “membangun kembali Kalimantan sebagai ciptaan Allah dalam keanekaragaman hidup”.
Sikap pro-aktif gereja Katolik dalam isu lingkungan ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan. “Gereja dengan sejarah dan jaringannya mempunyai kekuatan yang jauh lebih hebat dari LSM. Kami LSM sudah maksimal berbuat untuk penyelamatan lingkungan ini. Dengan kerja sama dan sikap pro-aktif gereja ini maka kehancuran alam Kalimantan semakin diperlambat,”ujar Sabhan Setiawan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Barat, salah satu anggota task force dalam diskusi awal pembentukan tim ini.
PSE Ketapang
Selain PSE KAP, keuskupan lain yang pro-aktif juga adalah Keuskupan Ketapang. Bulan Juli 2008, PSE Ketapang bersama sejumlah LSM dan organisasi masyarakat, mengorganisir penyampaian aspirasi penyelamatan lingkungan dalam rangka hari bumi. Demonstrasi yang diikuti 500 orang dari perwakilan paroki, desa di wilayah keuskupan ketapang tersebut bertujuan menghambat penghancuran hutan akibat masuknya perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang merajalela di Kabupaten Ketapang.
Tentu saja penyampaian aspirasi itu hanya satu dari banyak kegiatan PSE Ketapang lainnya. Aktivitas lain seperti kampanye penyadaran melalui APP, fasilitasi masyarakat penanaman ribuan hektar bekas kebakaran hutan dengan karet dan tanaman produktif lainnya.
Untuk lebih menggugah berbagai pihak, PSE Ketapang mengadakan seminar “dampak kelapa sawit terhadap masa depan lingkungan hidup di Kalimantan Barat” di Ketapang (7/2). Seminar ini diikuti 80 orang utusan PSE dari Keuskupan Agung Pontianak, Sintang, Sanggau dan Ketapang; para pejabat pemerintah, aktivis LSM, masyarakat umumnya.
Upaya proaktif Keuskupan Ketapang dan KAP hendaknya juga diikuti Keuskupan Sanggau, Sintang dan Keuskupan Lain di Kalimantan; agar APP 2009 benar-benar membumi dan menyelamatkan bumi Kalimantan.
Kehancuran bumi Kalimantan tinggal menunggu waktunya saja. Ini terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah yang menjadikan perkebunan sawit sebagai komoditi andalan. Padahal untuk membuka kebun sawit, semua tanaman harus dimusnahkan; termasuk hewan, tempat-tempat suci masyarakat. Di Indonesia sudah dibangun 6 juta hektar dan direncanakan 10 juta hektar sampai tahun 2010. Di Kalbar pemerintah mencadangkan 4,145 juta hektar. Kini (2009) sudah beroperasi 70 perusahaan perkebunan sawit dengan luas lahan 500.000 hektar. Harapan pemerintah dan pengusaha adalah mendapatkan devisa, menciptakan lapangan kerja, dan mensejahterakan masyarakat. Namun kenyataannya tidaklah seperti itu. Dalam banyak kasus, masyarakat di sekitar perusahaan sawit, khususnya masyarakat adat, justru bertambah miskin karena tanahnya dirampas perusahaan, pendapatan menurun, dan budaya mereka hancur.
Sejumlah penelitian dan fakta menyimpulkan bahwa perkebunan sawit adalah sumber bencana bagi sumber daya alam dan masyarakat adat di seluruh dunia. Menurut studi yang dilakukan Walhi, Sawit Watch dan Life Mosaic, terjadi pelanggaran hak asasi manusia akibat masuknya perkebunan sawit. Konflik sering terjadi antara perusahaan dengan karyawan; perusahaan versus masyarakat adat sekitarnya. Pemerintah pun—yang mengeluarkan izin—ternyata tidak bisa bertanggung jawab ketika ada persoalan sawit.Misalnya, Bupati Ketapang, Morkes Effendi, tidak bisa konflik antara PT Benua Indah dengan petaninya; sampai-sampai harus mengadu ke DPRD Provinsi dan Gubernur.
Banyak pihak berharap agar ada moratorium terhadap perkebunan sawit sambil mengkaji ulang. Jika mudaratnya lebih banyak dari manfaatnya, mengapa harus dipaksakan? Mengapa memaksakan sawit? Mengapa tidak memfasilitasi habis-habisan pengembangan karet rakyat, coklat, kopi, rotan atau produk lainnya?***
Komentar